Suara.com - Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie M Massardi mengkritisi omongan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan soal operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak cuma Luhut, ia juga menyesalkan sikap Menko Polhukam Mahfud MD yang dinilai mendukung pernyataan Luhut.
Tak sembarang bicara, Adhie berkaca pada pengalaman di masa lalu saat Luhut dan Mahfud MD sama-sama menjadi anak buah Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Saat menjadi menteri di Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001), Adhie menilai Luhut dan Mahfud terlalu sibuk mengurus kementerian mereka.
Akibatnya, keduanya disebut jarang bertemu dengan Presiden Gus Dur. Situasi itu, lanjut Adhie, membuat mereka menjadi kurang mendapatkan pengarahan dari Gus Dur, khususnya terkait persoalan demokrasi, antikorupsi dan masalah mayoritas masyarakat.
Karena itu, Adhie tidak heran jika sekarang menilai sikap Luhut dan Mahfud tampak kurang dalam persoalan demokrasi dan korupsi. Meski demikian, ia tetap meminta agar masyarakat memaafkan kedua menteri Presiden Joko Widodo itu, karena pernyataan mereka dinilai tidak seburuk yang dibayangkan.
Baca Juga: Kantor Emil Dardak Digeledah KPK, IG Arumi Bachsin Digeruduk Netizen
“Jadi menurut saya, dalam perkara demokrasi dan korupsi, artikulasi mereka (Luhut dan Mahfud) kurang pas dengan suasana kebatinan masyarakat," kata Adhie seperti dikutip dari Wartaekonomi.co.id -- jaringan Suara.com, Jumat (23/12/2022).
"Publik sebaiknya memaafkan mereka. Percayalah, apa yang diucapkan LBP dan Mahfud MD tidak seburuk yang diduga banyak orang,” sambung Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini.
Dalam kesempatan ini, Adhie juga menyoroti pernyataan Luhut dan Mahfud yang sama-sama ingin meningkatkan pencegahan korupsi melalui digitalisasi, alih-alih dikagetkan dengan OTT KPK.
"Tak salah dong Pak Luhut. Daripada kita selalu dikagetkan oleh OTT lebih baik dibuat digitalisasi dalam pemerintahan agar tak ada celah korupsi. Kan memang begitu arahnya,” tulis Mahfud MD melalui akun Twitternya.
Adhie sendiri tidak membantah jika digitalisasi berpotensi menutup celah korupsi. Namun, ia tetap mengingatkan bagaimana liciknya pejabat Indonesia yang bisa menembus "gorong-gorong untuk nyolong".
Menurutnya, inti persoalan dalam memberantas korupsi ada di mekanisme rekrutmen dan langkanya keteladanan dari pimpinan tertinggi. Ia pun mencontohkan kasus Ferdy Sambo yang bisa melenyapkan barang bukti dan menyeret puluhan anggota kepolisian demi masalah pribadinya.
"Bangsa ini memang nyaris tidak memiliki etika kekuasaan. Lihat kasus Ferdy Sambo. Jangankan hanya digitalisasi, semua barang bukti bisa lenyap dan untuk memuluskan tindak pidana hampir seratus orang dari berbagai lapisan bisa dikerjasamakan. Ini kan gila!” tegas Adhie.
“Saya curiga justru dengan digitalisasi sistem itu membuat korupsi jadi kian senyap, kian sulit dideteksi. Apalagi di-OTT,” tandas Adhie.